Dikisahkan ketika batara Wisnu sedang bercengkrama di negara Mendang, ia terpikat oleh seorang putri cantik yang kemudian diambil sebagai istri. Batara Wisnu tidak tahu bahwa Putri Mendang yang ia nikahi adalah putri simpanan batara Guru ayahnya, yang rencananya akan dibawa naik ke Suralaya. Tentu saja hal tersebut membuat batara Guru murka, dan memerintahkan sanghyang Narada menjatuhkan murkanya dan mengambil alih keratonnya. Batara Wisnu merasa bersalah, ia meninggalkan negaranya dan isterinya yang sedang mengandung dan pergi bertapa di hutan di bawah pohon beringin berjajar tujuh.
Tersebutlah di negara Gilingwesi, yang menjadi raja bernama prabu Watu-Gunung. Istrinya dua, yang pertama bernama dewi Sinta yang ke dua dewi Landep. Dari rahim Dewi Sinta lahirlah 27 anak laki-laki yaitu : Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Wariagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuru Welut, Marakeh, Tambir, Medangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prabangkat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut. Sedangkan dari rahim dewi Landep tidak satupun anak dilahirkan.
Pada saat itu Negara Gilingwesi sedang paceklik, mengalami masa sulit. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi sehingga tak terjangkau. Di mana-mana terjadi bencana dan kerusakan lingkungan. banyak rakyat kecil yang sengsara. Sering terjadi gerhana Matahari dan gerhana Bulan, hujan salah musim, gempa bumi sehari tujuh kali. Itu semua menjadi tanda bahwa tidak lama lagi negara Gilingwesi akan mengalami kerusakan hebat.
Prabu Watu-Ggunung sedih melihat kesengsaraan rakyatnya. Adakah kesalahan besar pada diriku? Menurut kepercayaan yang ada jika sang raja melakukan dosa atau kesalahan yang besar negara dan raktyanya akan ikut menanggung kutukan. Namun pertanyaan Prabu Watu-Gunung tidak mudah untuk dijawab.
Pada suatu sore, Prabu Watu-Gunung tiduran di balai panjang, kepalanya berbantal paha dewi Sinta istrinya. Ketika tangan Sang Dewi membelai rambut Sang Prabu, terkejutlah ia melihat luka di kepala Prabu Watu-Gunung. Dewi Sinta bertanya kepada suaminya, dengan suara yang bergetar dan dalam.
“Kanda Prabu, mengapa ada luka di kepala? Berceritalah Kakanda, aku sangat ingin mengetahuinya.”
Prabu Watu-Gunung menceritakan masa kecilnya, ketika ia ribut meminta enthong (alat untuk mengaduk nasi yang dibuat dari kayu) yang sedang dipakai ibunya mendinginkan nasi, sehingga diantara ibu dan anak itu saling tarik menarik enthong. Si ibu marah, dengan spontan memukulkan enthong tersebut pada kepala Watu-Gunung hingga berdarah. Watu-Gunung menangis. Tangisnya tidak semata-mata rasa perih karena kulit kepalanya sobek sehingga darah keluar bercampur keringat. Namun hatinyalah yang pedih, karena gara-gara enthong, ibunya yang selama ini ia jadikan sumber kasih sayang begitu tega mencelakai dirinya. Bocah kecil berusia sekitar 6 tahun tersebut lari meninggalkan rumah. Walaupun tidak mempunyai tujuan, ia tidak berniat pulang, karena di rumah sudah tidak ada lagi cinta yang tulus dari seorang ibu.
“Sampai sekarang aku tidak pernah berusaha mencari kabar tentang ibuku, apakah masih hidup ataukah sudah meninggal. Jika masih hidup pun sudah tidak ada lagi cinta yang mengalir di sana.”
Mendengar cerita sang Prabu, naluri sebagai seorang ibu terpukul karenanya. Dewi Sinta teringat anaknya yang pergi dan tidak pernah pulang, karena hal yang sama seperti yang dialami Watu-Gunung.. Perasaannya semakin kuat mengatakan bahwa anak di pukul dengan enthong puluhan tahun lalu itu adalah prabu Watu-Gunung, yang sekarang menjadi suaminya.
Dewi Sinta tak kuasa menahan kesadarannya, ia terjatuh tak sadarkan diri. Prabu Watu-Gunung terkejut penuh keheranan, Apakah penuturan masa kecilnya telah menyinggung perasaannya? Atau ada penyakit tertentu yang menyebabkan istrinya dengan tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri?
Tak tergambarkan seberapa besar dan dalam kesedihan dan rasa sesal dewi Sinta, karena Prabu Watu-Gunung yang menjadi suaminya dan telah memberikan benih untuk 27 anaknya, adalah anaknya sendiri.
Oh Dewa hukuman apakah yang patut ditimpakan kepada kami berdua atas dosa besar ini? apakah dosa ini pula yang menyebabkan negara Gilingwesi mendapat kutukan?
Semenjak kejadian itu, dewi Sinta, tidak banyak bicara, wajahnya murung. Pelayanan prabu Watu-Gunung dan dewi Landep tidak mampu mengurangi kesedihnnya.
Ia tidak akan membuka aib ini kepada siapapun termasuk kepada suaminya yang juga anaknya. Diam-diam ia berusaha mencari jalan agar lepas dari Sang Prabu. Entah apa yang menyebabkan tiba-tiba dewi Sinta mempunyai rekadaya untuk menyingkirkan sang Prabu dari muka bumi.
Pada suatu waktu yang dianggap baik, dewi Sinta mengungkapkan maksudnya kepada prabu Watu-Gunung demikian.
“Jika keluhuran Sang Prabu akan menjadi sempurna, hendaknya sang prabu memperistri bidadari Suralaya.”
Pikir dewi Sinta jika Prabu Watu-Gunung melamar bidadari Suralaya, pasti akan terjadi perang, dan Sang Prabu akan gugur berhadapan dengan para dewa. Itulah jalan yang dapat melepaskan dari suaminya yang juga anaknya dan sekaligus mengubur aib dalam hidupnya..
Prabu Watu-Gunung menyambut saran isterinya dengan penuh semangat. Maka demi maksud tersebut, sang prabu segera memerintahkan kepada para punggawa dan keduapuluh tujuh anaknya untuk menghimpun pasukannya masing-masing. Segera setelah ribuan pasukan selesai disiapkan, berangkatlah prabu Watu-Gunung ke Suralaya memenuhi saran isterinya, untuk melamar bidadari.
Ketika Batara Guru mendengar bahwa Raja Gilingwesi akan naik ke Suralaya, segera memanggil para dewa. Ditawarkan kepada mereka siapakah yang berani menghadapi Prabu Watu-Gunung, namun tidak ada satu pun diantara para dewa yang berani. Sanghyang Narada menyarankan agar Batara Guru memanggil Batara Wisnu, putranya, dan dijanjikan, jika mampu mengalahkan Prabu Watu-Gunung kesalahannya dimaafkan dan dosanya dihapuskan. Batara Guru menerima saran tersebut, maka diutuslah Sanghyang Narada turun ke bumi menemui Batara Wisnu yang sedang bertapa di bawah pohon beringin tujuh. Kesepakatan didapat, bahwa Batara Wisnu sanggup menghadapi Raja Gilingwesi, tetapi ia mohon diijinkan kembali kenegaranya untuk menemui istrinya yang waktu dirinya diusir atas perintah Batara Guru isterinya sedang mengandung. Waktu itu, sebelum Batara Wisnu meninggalkan istrinya, ia berpesan:
“Jika nanti anak tersebut lahir laki-laki, berilah nama Srigati.”
Tentunya jika anak tersebut selamat sekarang telah menjadi jejaka, karena belasan tahun sudah Batara Wisnu bertapa. Betapa gembiranya Batara Wisnu mendapatkan anak dan istrinya dalam keadaan baik dan sehat. Setelah sejenak mereka saling melepas rindu, batara Wisnu memberitahukan bahwa dirinya tidak bisa berlama-lama karena harus segera ke Suralaya, ada perintah mendesak dari Batara Guru untuk menghadapi Raja Gilingwesi. Bambang Srigati menyatakan diri ingin ikut ayahnya ke Suralaya, namun Batara Wisnu tidak memperbolehkan.
Dengan berat hati batara Wisnu pamit meninggalkan istri dan anaknya, menemui Sanghyang Narada di bawah tujuh pohon beringin. raden Srigati yang ditinggal tersebut menyusul ayahnya. Sesampainya di beringin tujuh, ia duduk di belakang Sanghyang Narada. Setelah mengetahui putranya menyusul, Batara Wisnu berkeinginan mengajak Raden Srigati ke Suralaya. Tetapi Sanghyang Narada tidak memperbolehkan, dikhawatirkan dapat membangunkan murkanya Batara Guru. Akhirnya Srigati ditinggal di bawah beringin tuju. namun secara diam-diam Raden Srigati mengikuti perjalanan Sanghyang Narada dan Batara Wisnu.
Setelah sampai di Suralaya dan menghadap Batara Guru, tiba-tiba Raden Srigati telah duduk dibelakang ayahandanya. Ketika melihat ada pemuda tampan, Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, siapakah anak muda tampan tersebut. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa ia anak Batara Wisnu yang lahir dari rahim putri di Mendang.
Mendengar jawaban Sanghyang Narada, Batara Guru sangat murka, ia berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Melihat gelagat yang tidak baik, Sanghyang Narada menyusul Batara Guru. Perintah baru dititahkan, Sanghyang Narada, diminta untuk membunuh Raden Srigati, sebagai tumbal negara, dan memerintahkan batara Wisnu segera menghadang musuh.
Namun sebelum perintah Batara Guru itu terlaksana, diluar terdengar suara gemuruh bersamaan datangnya musuh. Batara Guru gemetar ketakutan, minta pertimbangan kepada Sanghyang Narada, bagaimana sebaiknya. Sanghyang Narada menyarankan agara batara Guru membatalkan niatnya untuk membunuh Raden Srigati. Karena hal tersebut akan membuat Batara Wisnu tidak mau perang menghadang musuh, dengan demikian musuh akan dengan leluasa dapat merusak Suralaya. Batara Guru menuruti saran Sanghyang Narada, dan memutuskan tidak jadi membunuh Raden Srigati. dan segera memerintahkan Batara Wisnu untuk menghadapi musuh.
Batara Wisnu bersama dengan anaknya keluar dari tempat para dewa untuk menghadapi raja Gilingwesi. Setelah berhadap-hadapan dengan prabu Watu-Gunung, sang raja menawarkan perang dengan cara cangkriman (teka-teki). Jika Batara Wisnu dapat menebak cangkrimannya, Prabu Watu-Gunung dengan sukarela menyediakan diri untuk dibunuh. Tetapi jika Batara Wisnu tidak dapat menebak cangkriman, para dewa di Suralaya segera menyerah, dan menyerahkan para bidadari untuk diambil isteri.
Batara Wisnu menuruti apa yang di kehendaki Prabu Watu-Gunung. Maka sang raja membeberkan cangkrimannya. Ada sebuah pohon kecil tetapi buahnya besar dan ada pohon besar tetapi buahnya kecil, pohon apakah itu? Cangkriman tersebut di tebak oleh Batara Wisnu. Bahwa pohon yang kecil besar buahnya adalah pohon semangka. Sedangkan pohon yang besar kecil buahnya adalah pohon beringin. Sang raja tidak mampu berkata-kata, seperti janjinya ia menyerahkan dirinya. Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra, dan Prabu Watu-Gunung tewas di medan perang. Balatentara yang berjumlah besar melarikan diri meninggalkan Suralaya.
Sepeninggalnya prabu Watu-Gunung, Dewi Sinta menangis berkepanjangan, hatinya sangat bersedih. Dampak dari kesedihan Dewi Sinta para dewa di Suralaya gelisah hatinya, mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Dan hal tersebut bakal mendatangkan huru-hara besar. Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, apa yang menyebabkan gara-gara ini. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa penyebabnya adalah menangisnya Dewi Sinta karena bersedih atas meninggalnya Prabu Watu-Gunung. Batara Guru lalu memerintahkan kepada Sanghyang Narada untuk turun menemui Dewi Sinta agar mau menghentikan tangisnya, dan dijanjikan dalam tiga hari Prabu Watu-Gunung akan dihidupkan lagi, dan menjadi raja kembali di Negara Giling-Wesi. karena janji itu Dewi Sinta menghetikan tangisnya, dan saat itu juga sasana di Suralaya menjadi tenang kembali.
Namun setelah sampai tiga hari, Prabu Watu-Gunung tidak kelihatan datang, Dewi Sinta nangis kembali, dan mendatangkan kegelisahan dan kekacauan yang lebih besar di Suralaya. Batara Guru bertanya lagi kepada Sanghyang Narada apa penyebabnya gara-gara ini. Sanghyang Narada berkata bahwa gara-gara ini disebabkan oleh hal yang sama yaitu tangis Dewi Sinta, kareana sudah tiga hari Prabu Watu-Gunung belum kembali ke negara Gilingwesi.
Kemudian Batara Guru memerintahkan Sanghyang Narada, untuk menghidupkan Prabu Watu-Gunung, serta mengembalikan di negara Gilingwesi.
Setelah Prabu Watu-Gunung dihidupkan oleh Sanghyang Narada, disuruh kembali di Gilingwesi, ia tidak mau, dikarenakan sudah kerasan di surga. Bahkan Prabu Watu-Gunung memohon agar kedua isterinya dan ke 27 anak di angkat ke surga, menjadi satu dengannya. Guru mengabulkan permohonan tersebut, serta memerintahkan agar mengangkat isteri dan anak Prabu Watu-Gunung ke surga.
Proses pengangkatan dua isteri serta 27 anak Prabu Watu-Gunung ke surga dilakukan satu persatu pada setiap minggu. Inilah permulaan adanya 30 wuku yang dijadikan dasar perhitungan Pawukon atau zodiak Jawa.
Seperti yang telah dijanjikan Batara Guru kepada Prabu Watu-Gunung bahwa dua isterinya dan 27 anaknya akan diangkat ke surga. Proses pengangkatannya dilaksanakan pada setiap minggu. Diurutkan mulai dari isterinya yaitu Dewi Sinta dan Dewi Landep, kemudian anak-anaknya. mulai dari anak yang sulung dan disusul adik-adiknya.
Perlu diketahui bahwa setiap tahun Dewi Sinta melahirkan anak laki-laki kembar hingga sampai 13 kali. Sedangkan anak laki-laki yang lahir ke 14 tidak kembar. Nama-nama isteri dan anak Prabu Watugunug itulah yang kemudian dijadian nama wuku yang berjumlah 30. Karena proses pengangkatan ke surga setiap minggu, maka setiap satu wuku berumur 7 hari, dimulai dari hari minggu hingga hari Sabtu, sehingga satu putaran keseluruhan wuku atau pawukon = 30 x 7 hari = 210 hari.
Pengetahuan mengenai wuku-wuku disebut Pawukon, yang di dalamnya membeberkan pengaruh baik dan pengaruh buruk bagi seseorang yang dilahirkan pada wuku yang bersangkutan. Watak tabiat dari masing-masing wuku tersebut dipengaruhi oleh dewa yang menaunginya, serta atribut yang dibawanya. Atribut tersebut seperti misalnya: burung, kayu pohon dan yang lain.
Tersebutlah di negara Gilingwesi, yang menjadi raja bernama prabu Watu-Gunung. Istrinya dua, yang pertama bernama dewi Sinta yang ke dua dewi Landep. Dari rahim Dewi Sinta lahirlah 27 anak laki-laki yaitu : Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Wariagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuru Welut, Marakeh, Tambir, Medangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prabangkat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut. Sedangkan dari rahim dewi Landep tidak satupun anak dilahirkan.
Pada saat itu Negara Gilingwesi sedang paceklik, mengalami masa sulit. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi sehingga tak terjangkau. Di mana-mana terjadi bencana dan kerusakan lingkungan. banyak rakyat kecil yang sengsara. Sering terjadi gerhana Matahari dan gerhana Bulan, hujan salah musim, gempa bumi sehari tujuh kali. Itu semua menjadi tanda bahwa tidak lama lagi negara Gilingwesi akan mengalami kerusakan hebat.
Prabu Watu-Ggunung sedih melihat kesengsaraan rakyatnya. Adakah kesalahan besar pada diriku? Menurut kepercayaan yang ada jika sang raja melakukan dosa atau kesalahan yang besar negara dan raktyanya akan ikut menanggung kutukan. Namun pertanyaan Prabu Watu-Gunung tidak mudah untuk dijawab.
Pada suatu sore, Prabu Watu-Gunung tiduran di balai panjang, kepalanya berbantal paha dewi Sinta istrinya. Ketika tangan Sang Dewi membelai rambut Sang Prabu, terkejutlah ia melihat luka di kepala Prabu Watu-Gunung. Dewi Sinta bertanya kepada suaminya, dengan suara yang bergetar dan dalam.
“Kanda Prabu, mengapa ada luka di kepala? Berceritalah Kakanda, aku sangat ingin mengetahuinya.”
Prabu Watu-Gunung menceritakan masa kecilnya, ketika ia ribut meminta enthong (alat untuk mengaduk nasi yang dibuat dari kayu) yang sedang dipakai ibunya mendinginkan nasi, sehingga diantara ibu dan anak itu saling tarik menarik enthong. Si ibu marah, dengan spontan memukulkan enthong tersebut pada kepala Watu-Gunung hingga berdarah. Watu-Gunung menangis. Tangisnya tidak semata-mata rasa perih karena kulit kepalanya sobek sehingga darah keluar bercampur keringat. Namun hatinyalah yang pedih, karena gara-gara enthong, ibunya yang selama ini ia jadikan sumber kasih sayang begitu tega mencelakai dirinya. Bocah kecil berusia sekitar 6 tahun tersebut lari meninggalkan rumah. Walaupun tidak mempunyai tujuan, ia tidak berniat pulang, karena di rumah sudah tidak ada lagi cinta yang tulus dari seorang ibu.
“Sampai sekarang aku tidak pernah berusaha mencari kabar tentang ibuku, apakah masih hidup ataukah sudah meninggal. Jika masih hidup pun sudah tidak ada lagi cinta yang mengalir di sana.”
Mendengar cerita sang Prabu, naluri sebagai seorang ibu terpukul karenanya. Dewi Sinta teringat anaknya yang pergi dan tidak pernah pulang, karena hal yang sama seperti yang dialami Watu-Gunung.. Perasaannya semakin kuat mengatakan bahwa anak di pukul dengan enthong puluhan tahun lalu itu adalah prabu Watu-Gunung, yang sekarang menjadi suaminya.
Dewi Sinta tak kuasa menahan kesadarannya, ia terjatuh tak sadarkan diri. Prabu Watu-Gunung terkejut penuh keheranan, Apakah penuturan masa kecilnya telah menyinggung perasaannya? Atau ada penyakit tertentu yang menyebabkan istrinya dengan tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri?
Tak tergambarkan seberapa besar dan dalam kesedihan dan rasa sesal dewi Sinta, karena Prabu Watu-Gunung yang menjadi suaminya dan telah memberikan benih untuk 27 anaknya, adalah anaknya sendiri.
Oh Dewa hukuman apakah yang patut ditimpakan kepada kami berdua atas dosa besar ini? apakah dosa ini pula yang menyebabkan negara Gilingwesi mendapat kutukan?
Semenjak kejadian itu, dewi Sinta, tidak banyak bicara, wajahnya murung. Pelayanan prabu Watu-Gunung dan dewi Landep tidak mampu mengurangi kesedihnnya.
Ia tidak akan membuka aib ini kepada siapapun termasuk kepada suaminya yang juga anaknya. Diam-diam ia berusaha mencari jalan agar lepas dari Sang Prabu. Entah apa yang menyebabkan tiba-tiba dewi Sinta mempunyai rekadaya untuk menyingkirkan sang Prabu dari muka bumi.
Pada suatu waktu yang dianggap baik, dewi Sinta mengungkapkan maksudnya kepada prabu Watu-Gunung demikian.
“Jika keluhuran Sang Prabu akan menjadi sempurna, hendaknya sang prabu memperistri bidadari Suralaya.”
Pikir dewi Sinta jika Prabu Watu-Gunung melamar bidadari Suralaya, pasti akan terjadi perang, dan Sang Prabu akan gugur berhadapan dengan para dewa. Itulah jalan yang dapat melepaskan dari suaminya yang juga anaknya dan sekaligus mengubur aib dalam hidupnya..
Prabu Watu-Gunung menyambut saran isterinya dengan penuh semangat. Maka demi maksud tersebut, sang prabu segera memerintahkan kepada para punggawa dan keduapuluh tujuh anaknya untuk menghimpun pasukannya masing-masing. Segera setelah ribuan pasukan selesai disiapkan, berangkatlah prabu Watu-Gunung ke Suralaya memenuhi saran isterinya, untuk melamar bidadari.
Ketika Batara Guru mendengar bahwa Raja Gilingwesi akan naik ke Suralaya, segera memanggil para dewa. Ditawarkan kepada mereka siapakah yang berani menghadapi Prabu Watu-Gunung, namun tidak ada satu pun diantara para dewa yang berani. Sanghyang Narada menyarankan agar Batara Guru memanggil Batara Wisnu, putranya, dan dijanjikan, jika mampu mengalahkan Prabu Watu-Gunung kesalahannya dimaafkan dan dosanya dihapuskan. Batara Guru menerima saran tersebut, maka diutuslah Sanghyang Narada turun ke bumi menemui Batara Wisnu yang sedang bertapa di bawah pohon beringin tujuh. Kesepakatan didapat, bahwa Batara Wisnu sanggup menghadapi Raja Gilingwesi, tetapi ia mohon diijinkan kembali kenegaranya untuk menemui istrinya yang waktu dirinya diusir atas perintah Batara Guru isterinya sedang mengandung. Waktu itu, sebelum Batara Wisnu meninggalkan istrinya, ia berpesan:
“Jika nanti anak tersebut lahir laki-laki, berilah nama Srigati.”
Tentunya jika anak tersebut selamat sekarang telah menjadi jejaka, karena belasan tahun sudah Batara Wisnu bertapa. Betapa gembiranya Batara Wisnu mendapatkan anak dan istrinya dalam keadaan baik dan sehat. Setelah sejenak mereka saling melepas rindu, batara Wisnu memberitahukan bahwa dirinya tidak bisa berlama-lama karena harus segera ke Suralaya, ada perintah mendesak dari Batara Guru untuk menghadapi Raja Gilingwesi. Bambang Srigati menyatakan diri ingin ikut ayahnya ke Suralaya, namun Batara Wisnu tidak memperbolehkan.
Dengan berat hati batara Wisnu pamit meninggalkan istri dan anaknya, menemui Sanghyang Narada di bawah tujuh pohon beringin. raden Srigati yang ditinggal tersebut menyusul ayahnya. Sesampainya di beringin tujuh, ia duduk di belakang Sanghyang Narada. Setelah mengetahui putranya menyusul, Batara Wisnu berkeinginan mengajak Raden Srigati ke Suralaya. Tetapi Sanghyang Narada tidak memperbolehkan, dikhawatirkan dapat membangunkan murkanya Batara Guru. Akhirnya Srigati ditinggal di bawah beringin tuju. namun secara diam-diam Raden Srigati mengikuti perjalanan Sanghyang Narada dan Batara Wisnu.
Setelah sampai di Suralaya dan menghadap Batara Guru, tiba-tiba Raden Srigati telah duduk dibelakang ayahandanya. Ketika melihat ada pemuda tampan, Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, siapakah anak muda tampan tersebut. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa ia anak Batara Wisnu yang lahir dari rahim putri di Mendang.
Mendengar jawaban Sanghyang Narada, Batara Guru sangat murka, ia berdiri dan meninggalkan tempat duduknya. Melihat gelagat yang tidak baik, Sanghyang Narada menyusul Batara Guru. Perintah baru dititahkan, Sanghyang Narada, diminta untuk membunuh Raden Srigati, sebagai tumbal negara, dan memerintahkan batara Wisnu segera menghadang musuh.
Namun sebelum perintah Batara Guru itu terlaksana, diluar terdengar suara gemuruh bersamaan datangnya musuh. Batara Guru gemetar ketakutan, minta pertimbangan kepada Sanghyang Narada, bagaimana sebaiknya. Sanghyang Narada menyarankan agara batara Guru membatalkan niatnya untuk membunuh Raden Srigati. Karena hal tersebut akan membuat Batara Wisnu tidak mau perang menghadang musuh, dengan demikian musuh akan dengan leluasa dapat merusak Suralaya. Batara Guru menuruti saran Sanghyang Narada, dan memutuskan tidak jadi membunuh Raden Srigati. dan segera memerintahkan Batara Wisnu untuk menghadapi musuh.
Batara Wisnu bersama dengan anaknya keluar dari tempat para dewa untuk menghadapi raja Gilingwesi. Setelah berhadap-hadapan dengan prabu Watu-Gunung, sang raja menawarkan perang dengan cara cangkriman (teka-teki). Jika Batara Wisnu dapat menebak cangkrimannya, Prabu Watu-Gunung dengan sukarela menyediakan diri untuk dibunuh. Tetapi jika Batara Wisnu tidak dapat menebak cangkriman, para dewa di Suralaya segera menyerah, dan menyerahkan para bidadari untuk diambil isteri.
Batara Wisnu menuruti apa yang di kehendaki Prabu Watu-Gunung. Maka sang raja membeberkan cangkrimannya. Ada sebuah pohon kecil tetapi buahnya besar dan ada pohon besar tetapi buahnya kecil, pohon apakah itu? Cangkriman tersebut di tebak oleh Batara Wisnu. Bahwa pohon yang kecil besar buahnya adalah pohon semangka. Sedangkan pohon yang besar kecil buahnya adalah pohon beringin. Sang raja tidak mampu berkata-kata, seperti janjinya ia menyerahkan dirinya. Batara Wisnu melepaskan senjata Cakra, dan Prabu Watu-Gunung tewas di medan perang. Balatentara yang berjumlah besar melarikan diri meninggalkan Suralaya.
Sepeninggalnya prabu Watu-Gunung, Dewi Sinta menangis berkepanjangan, hatinya sangat bersedih. Dampak dari kesedihan Dewi Sinta para dewa di Suralaya gelisah hatinya, mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Dan hal tersebut bakal mendatangkan huru-hara besar. Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, apa yang menyebabkan gara-gara ini. Sanghyang Narada memberitahukan bahwa penyebabnya adalah menangisnya Dewi Sinta karena bersedih atas meninggalnya Prabu Watu-Gunung. Batara Guru lalu memerintahkan kepada Sanghyang Narada untuk turun menemui Dewi Sinta agar mau menghentikan tangisnya, dan dijanjikan dalam tiga hari Prabu Watu-Gunung akan dihidupkan lagi, dan menjadi raja kembali di Negara Giling-Wesi. karena janji itu Dewi Sinta menghetikan tangisnya, dan saat itu juga sasana di Suralaya menjadi tenang kembali.
Namun setelah sampai tiga hari, Prabu Watu-Gunung tidak kelihatan datang, Dewi Sinta nangis kembali, dan mendatangkan kegelisahan dan kekacauan yang lebih besar di Suralaya. Batara Guru bertanya lagi kepada Sanghyang Narada apa penyebabnya gara-gara ini. Sanghyang Narada berkata bahwa gara-gara ini disebabkan oleh hal yang sama yaitu tangis Dewi Sinta, kareana sudah tiga hari Prabu Watu-Gunung belum kembali ke negara Gilingwesi.
Kemudian Batara Guru memerintahkan Sanghyang Narada, untuk menghidupkan Prabu Watu-Gunung, serta mengembalikan di negara Gilingwesi.
Setelah Prabu Watu-Gunung dihidupkan oleh Sanghyang Narada, disuruh kembali di Gilingwesi, ia tidak mau, dikarenakan sudah kerasan di surga. Bahkan Prabu Watu-Gunung memohon agar kedua isterinya dan ke 27 anak di angkat ke surga, menjadi satu dengannya. Guru mengabulkan permohonan tersebut, serta memerintahkan agar mengangkat isteri dan anak Prabu Watu-Gunung ke surga.
Proses pengangkatan dua isteri serta 27 anak Prabu Watu-Gunung ke surga dilakukan satu persatu pada setiap minggu. Inilah permulaan adanya 30 wuku yang dijadikan dasar perhitungan Pawukon atau zodiak Jawa.
Seperti yang telah dijanjikan Batara Guru kepada Prabu Watu-Gunung bahwa dua isterinya dan 27 anaknya akan diangkat ke surga. Proses pengangkatannya dilaksanakan pada setiap minggu. Diurutkan mulai dari isterinya yaitu Dewi Sinta dan Dewi Landep, kemudian anak-anaknya. mulai dari anak yang sulung dan disusul adik-adiknya.
Perlu diketahui bahwa setiap tahun Dewi Sinta melahirkan anak laki-laki kembar hingga sampai 13 kali. Sedangkan anak laki-laki yang lahir ke 14 tidak kembar. Nama-nama isteri dan anak Prabu Watugunug itulah yang kemudian dijadian nama wuku yang berjumlah 30. Karena proses pengangkatan ke surga setiap minggu, maka setiap satu wuku berumur 7 hari, dimulai dari hari minggu hingga hari Sabtu, sehingga satu putaran keseluruhan wuku atau pawukon = 30 x 7 hari = 210 hari.
Pengetahuan mengenai wuku-wuku disebut Pawukon, yang di dalamnya membeberkan pengaruh baik dan pengaruh buruk bagi seseorang yang dilahirkan pada wuku yang bersangkutan. Watak tabiat dari masing-masing wuku tersebut dipengaruhi oleh dewa yang menaunginya, serta atribut yang dibawanya. Atribut tersebut seperti misalnya: burung, kayu pohon dan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar