Dalam versi India, bangsa Dewa diceritakan sebagai perwujudan dari tuhan yang mengejawantah ke marcapada untuk menjaga alam. Sesuai dengan keyakinannya yang menganut ajaran Polytheis. Ketika kisah wayang dibawa ke tanah Jawa dan mengalami akulturasi budaya, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa, terutama saat kejayaan Kediri dan Majapahit, kedudukan bangsa Dewa tidak jauh berubah dari versi India.
Wayang, yang kemudian begitu dikenal sebagai salah satu media komunikasi dan informasi sebuah komunitas, semakin mengalami akulturasi ketika kemudian berkembang ajaran Islam di tanah Jawa. Dimana proses penyebaran itu sendiri juga memanfaatkan budaya wayang sebagai salah satu upaya melakukan dakwah tanpa pemaksaan. Dari sinilah, kemudian kedudukan bangsa Dewa digubah supaya selarah menjadi konsep tauhid dalam ajaran Islam. Sehingga muncul gubahan-gubahan pada masa kerajaan Demak, melalui Wali Songo, sampai kemudian gubahan-gubahan yang dilakukan para sastrawan di masa kerajaan Mataram baik Yogyakarta maupun Surakarta.
Gubahan ini menggeser pengertian bangsa Dewa, bukan lagi sebagai perwujudan tuhan, tapi tidak lebih sebagai salah satu makluk ciptaan Sang Pencipta (yang satu). Dimana bangsa Dewa sebagai makhluk Sang Pencipta, kebetulan diciptakan memilki kelebihan-kelebihan dan keistimewaan-keistimewaan dibanding bangsa-bangsa lain, bangsa manusia, bangsa raksasa, bangsa kera, bangsa jin, bangsa gandarwa, dsb. Tapi tetap kelebihan dan keistimewaan ini masih dalam kerangka konteks bahwa bangsa ini sebagai salah satu makhluk ciptaan Sang Pencipta. Ini ditunjukkan dengan diciptakannya lakon-lakon wayang Jawa, yang memperlihatkan kesalahan, keterbatasan dan kekhilafan bangsa Dewa. Sebagai bukti bahwa bangsa Dewa bukanlah penguasa alam sesungguhnya. Mereka 'hanya' atas kelebihannya merasa diberi tanggung jawab untuk menjaga alam. Menjaga Matahari, Angin, Bulan, Api, Tanah, Kebaikan, dsb.
Batara Guru
Batara Narada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar